MGMP KIMIA-MA PROVINSI JAWA TENGAH
Forum Guru Kimia Madrasah Aliyah Provinsi Jawa Tengah, untuk Madrasah, untuk Indonesia, dan untuk Hidup Berkelanjutan yang lebih baik
Pelatihan Penyusunan Soal TO-TKA (Tes Kemampuan Akademik) Kimia oleh MGMP Kimia MA Korwil II Solo Raya
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Kimia Madrasah Aliyah (MA) Wilayah II Solo Raya kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kompetensi guru melalui kegiatan pelatihan. Pada Rabu, 6 Agustus 2025, MGMP Kimia MA Wilayah II Solo Raya menyelenggarakan Pelatihan Penyusunan Soal Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang bertempat di MAN 1 Kota Surakarta. Kegiatan ini diikuti oleh para guru kimia dari berbagai madrasah aliyah di wilayah Solo Raya, dengan tujuan utama meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun instrumen evaluasi yang berkualitas, objektif, dan sesuai standar asesmen nasional.
Penyusunan soal Tes Kemampuan Akademik (TKA) memegang peran penting dalam mengukur pemahaman dan kemampuan berpikir kritis peserta didik. TKA tidak hanya menilai penguasaan materi, tetapi juga mengasah keterampilan analisis, penalaran, dan pemecahan masalah. Dengan adanya perubahan kurikulum dan tuntutan asesmen yang lebih menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS), guru dituntut untuk mampu merancang soal yang relevan, bervariasi, dan menantang, sekaligus tetap sesuai dengan kaidah penulisan soal yang benar.
Dalam konteks ini, MGMP Kimia MA Wilayah II Solo Raya merasa perlu menyelenggarakan pelatihan khusus, agar para guru tidak hanya memahami konsep penyusunan soal yang baik, tetapi juga terampil mempraktikkannya dalam bentuk soal TKA yang dapat digunakan baik untuk ujian madrasah, asesmen daerah, maupun seleksi perguruan tinggi.
Acara dibuka dengan sambutan dari Kepala MAN 1 Kota Surakarta, yang menekankan pentingnya peningkatan kualitas evaluasi pembelajaran di madrasah. Beliau menyampaikan apresiasi kepada MGMP Kimia Wilayah II Solo Raya yang konsisten menyelenggarakan kegiatan peningkatan kompetensi guru.
Materi utama pelatihan disampaikan oleh narasumber berpengalaman dalam bidang evaluasi pendidikan dan penyusunan instrumen asesmen. Dalam paparannya, narasumber menjelaskan prinsip-prinsip penyusunan soal TKA, mulai dari perencanaan, penentuan indikator, penulisan butir soal, hingga analisis kualitas soal. Para peserta diajak memahami perbedaan soal dengan level kognitif rendah (LOTS), menengah (MOTS), dan tinggi (HOTS), serta strategi menyusunnya agar tetap sesuai dengan karakteristik mata pelajaran kimia.
Selain pemaparan teori, peserta juga dilibatkan dalam praktik langsung penyusunan soal. Mereka dibagi dalam kelompok kecil untuk merancang beberapa butir soal TKA sesuai kompetensi dasar yang dipilih. Hasil penyusunan soal kemudian dipresentasikan, didiskusikan, dan diberikan masukan oleh narasumber maupun peserta lainnya. Metode ini membuat pelatihan terasa interaktif dan aplikatif.
Dengan mengikuti pelatihan ini, guru diharapkan lebih terampil dalam menghasilkan soal-soal TKA yang berkualitas. Hal ini berdampak positif pada peningkatan mutu pembelajaran, karena soal yang baik mampu memberikan gambaran nyata tentang kemampuan akademik siswa.
Bagi guru, pelatihan ini juga menjadi ajang berbagi pengalaman, berdiskusi tentang kesulitan yang dihadapi dalam penyusunan soal, serta memperluas wawasan tentang strategi evaluasi pembelajaran yang efektif. Sementara bagi siswa, keberadaan soal TKA yang terstandar akan membantu mereka terbiasa menghadapi soal dengan tingkat kesulitan bervariasi, sehingga lebih siap dalam menghadapi ujian madrasah, asesmen nasional, maupun seleksi masuk perguruan tinggi.
Ketua MGMP Kimia MA Wilayah II Solo Raya dalam sambutannya menyampaikan harapan agar pelatihan ini tidak berhenti pada tataran teori dan praktik sesaat, melainkan benar-benar diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Beliau juga berharap kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan secara berkelanjutan dengan tema yang berbeda, seperti pengembangan media pembelajaran digital, penelitian tindakan kelas, maupun inovasi pembelajaran kimia berbasis proyek.
Selain itu, kolaborasi antar madrasah di wilayah Solo Raya diharapkan semakin erat melalui forum MGMP, sehingga kualitas pendidikan kimia di madrasah aliyah dapat meningkat secara merata. Dengan guru yang kompeten dalam menyusun soal dan melakukan asesmen, diharapkan lahir generasi siswa madrasah yang cerdas, kritis, dan siap bersaing di tingkat nasional maupun internasional. (Kontributor : MGMP Kimia MA Korwil II Solo Raya)
Terdapat dua sudut pandang yang sangat berbeda dalam mengenal dan memahami apa itu "Deep Learning". yaitu Deep Learning dalam konteks "machine learning" (mesin pembelajaran), dan Deep Learning dalam konteks pendidikan. Deep learning pada machine learning, terinspirasi oleh struktur dan fungsi otak manusia, khususnya jaringan saraf. Dalam deep learning, algoritma kompleks yang disebut jaringan saraf tiruan (artificial neural networks) digunakan untuk menganalisis data dalam jumlah besar dan menemukan pola yang sangat kompleks. Pada prinsipnya Deep learning dalam konteks "machine learning" adalah pengembangan dari AI (Artificial Intellegence).
Deep learning dalam konteks pendidikan merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam terhadap suatu materi. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang lebih fokus pada menghafal fakta, deep learning mendorong siswa untuk:
Menghubungkan konsep: Memahami bagaimana berbagai konsep saling terkait dan membentuk suatu pemahaman yang utuh;
Berpikir kritis: Menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan yang logis;
Memecahkan masalah: Menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi tantangan yang kompleks;
Menciptakan sesuatu: Mengaplikasikan pemahaman untuk menghasilkan karya atau ide-ide baru.
Pendekatan pembelajaran Deep Learning sangat penting dan relevan untuk kebutuhan pendidikan saat ini. Pertama, Pemahaman yang lebih bermakna: Siswa tidak hanya mengingat fakta, tetapi juga memahami mengapa fakta tersebut penting dan bagaimana ia dapat diterapkan. Kedua, Keterampilan berpikir tingkat tinggi: Deep learning mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif yang sangat dibutuhkan di dunia yang terus berubah. Ketiga, Motivasi belajar yang lebih tinggi: Ketika siswa merasa bahwa mereka benar-benar memahami suatu materi, mereka akan lebih termotivasi untuk terus belajar. Ke-empat, Proyek berbasis masalah: Siswa diberikan masalah nyata untuk dipecahkan. Mereka harus mencari informasi, menganalisis data, dan bekerja sama untuk menemukan solusi. Kelima, Diskusi kelas: Guru menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa untuk berbagi ide, mengajukan pertanyaan, dan menantang pemikiran satu sama lain. Ke-enam. Pembelajaran berbasis penyelidikan: Siswa secara aktif terlibat dalam proses penemuan pengetahuan melalui eksperimen, observasi, dan analisis data.
Deep Learning pada intinya adalah implementasi pendekatan pembelajaran dengan memiliki 6 goal kompetensi yang disebut sebagai 6 C, yaitu :
Character Education (Pendidikan Karater). Karakter mengacu pada kualitas individu untuk menjadi pribadi yang efektif di dunia yang kompleks termasuk: keberanian, keuletan, ketekunan, ketahanan, keandalan, dan kejujuran. Karakter peserta didik ini dapat kuatkan melalui pembiasaan yang positif berdasarkan nilai-nilai agama, atau norma-norma yang lain.
Citizenship (Kewarganegaraan). Berpikir seperti warga dunia, mempertimbangkan isu-isu global berdasarkan pemahaman mendalam tentang berbagai nilai dengan minat tulus untuk bekerja sama dengan orang lain guna memecahkan berbagai masalah rumit yang berdampak pada keberlanjutan manusia dan lingkungan.
Collaboration (Kolaborasi). Kolaborasi mengacu pada kapasitas untuk bekerja secara saling bergantung dan bersinergi dalam tim dengan keterampilan interpersonal dan terkait tim yang kuat termasuk manajemen dinamika tim yang efektif, membuat keputusan substantif bersama-sama, dan belajar dari dan berkontribusi pada pembelajaran orang lain.
Communication (Komunikasi). Komunikasi memerlukan penguasaan tiga kefasihan: digital, menulis, dan berbicara yang disesuaikan untuk berbagai audiens.
Creativity (Kreativitas). Memiliki 'mata kewirausahaan' untuk peluang ekonomi dan sosial, mengajukan pertanyaan yang tepat untuk menghasilkan ide-ide baru, dan menunjukkan kepemimpinan untuk mewujudkan ide-ide tersebut dalam praktik.
Critical Thinking (Berpikir Kritis). Mengevaluasi informasi dan argumen secara kritis, melihat pola dan hubungan, membangun pengetahuan yang bermakna dan menerapkannya di dunia nyata.
Bagaimana Implementasi Deep Learning dalam pembelajaran?.
Merancang pertanyaan yang menantang: Ajukan pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir lebih dalam dan menghubungkan konsep.
Menggunakan berbagai sumber belajar: Variasikan sumber belajar, seperti buku teks, artikel jurnal, video, dan pengalaman langsung.
Memberikan umpan balik yang konstruktif: Berikan umpan balik yang spesifik dan membantu siswa memperbaiki kesalahan mereka.
Menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif: Dorong siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dan berbagi ide.
Deep Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran, bukan suatu model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran adalah kerangka kerja atau sudut pandang yang digunakan oleh pendidik dalam merancang dan melaksanakan proses belajar-mengajar. Pendekatan ini menjadi landasan bagi pemilihan metode, strategi, dan aktivitas pembelajaran yang akan diterapkan. Karena Deep Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran, maka dapat dibenamkan dalam beberapa model pembelajaran yang mendukung deep learning. Sebagai contoh model pembelajaran PBL (Problem Based Learning), model PBL memiliki 5 sintaks/ langkah pembelajaran, bagaimana implementasi Deep Learning pada PBL?, maka dapat dapat disusun sintaks yang integratif dengan PBL sebagai berikut :
Orientasi Siswa pada Masalah (Tahap 1). ⚪ Guru memperkenalkan masalah autentik yang relevan dengan mata pelajaran, kontekstual dengan masalah-masalah global yang saat ini dihadapi oleh masyarakat dunia, ⚪ Masalah dirancang untuk memicu rasa ingin tahu, daya kritis dan memotivasi siswa untuk mencari solusi, ⚪ Guru memberikan informasi awal yang diperlukan untuk memahami masalah. Informasi awal melibatkan dari banyak sumber, dan mengaitkan dengan pengetahuan awal siswa.
Mengorganisasi Siswa untuk Belajar (Tahap 2). ⚪ Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama (kolaborasi) dalam memecahkan masalah, ⚪ Setiap kelompok menentukan peran dan tugas masing-masing anggota, ⚪ Guru memberikan panduan dan dukungan dalam proses pengorganisasian ini, memandu untuk mengambil keputusan substantif bersama-sama dalam kelompoknya.
Membimbing Penyelidikan Individual dan Kelompok (Tahap 3). ⚪ Siswa melakukan penyelidikan untuk mencari informasi yang relevan dengan masalah, ⚪ Guru berperan sebagai fasilitator, memberikan bimbingan dan menjawab pertanyaan siswa, ⚪ Siswa dapat menggunakan berbagai sumber belajar, seperti buku, artikel, internet, atau ahli. Pada tahap ini, tentunya siswa diberikan kebebasan untuk outing class, atau melalui sarana media virtual untuk berkomunikasi dengan ahli (narsum) terkait dengan penyelidikannya, dengan tetap berada dalam pengawasan guru/ fasilitator.
Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya (Tahap 4). ⚪ Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dan mengembangkan solusi untuk masalah, ⚪ Produk atau hasil karya dapat berupa laporan tertulis, presentasi, atau produk lainnya - bentuk creativity, ⚪ Siswa mempresentasikan hasil karya mereka di depan kelas sekaligus untuk melatih keterampilan dalam berkomunikasi, dan sebagai media dalam berdiskusi untuk saling mengevaluasi dan menganalisis.
Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah (Tahap 4). ⚪ Siswa bersama-sama guru merefleksikan proses pemecahan masalah yang telah dilakukan, ⚪ Mengevaluasi keefektifan strategi yang digunakan dan hasil yang diperoleh, ⚪ Guru memberikan umpan balik untuk memperbaiki proses pembelajaran dan sekaligus memandu mengambil keputusan substantif bersama-sama.
Main Sources : Deep Learning: Engage the World Change the World. Michael Fullan, Joanne Quinn, Joanne McEachen (2018); MOOC - Problem Based Learning. Mahbub Alwathoni, (2023).
Catatan :
Model pembelajaran adalah suatu pola atau rencana yang dapat digunakan untuk menentukan kurikulum, memilih materi pelajaran, dan membimbing tindakan guru. Dengan kata lain, model pembelajaran adalah semacam "resep" atau "blueprint" yang dapat diikuti oleh guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran (Bruce Joyce, 2009). Unsur dalam sebuah model pembelajaran :
Sintaks: Urutan langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu model pembelajaran.
Sistem Sosial: Struktur interaksi antara guru dan siswa dalam kelas.
Prinsip Reaksi: Cara guru merespons tindakan siswa.
Sistem pendukung: Bahan, alat, dan sumber daya yang digunakan dalam pembelajaran.
Dampak instruksional: Hasil belajar yang diharapkan.
Dampak pengiring: Efek samping positif dari pembelajaran, seperti peningkatan motivasi atau sikap positif terhadap belajar.
(Kontributor : Mahbub Alwathoni, 2025)
Literasi Kimia
Apakah Literasi Kimia itu ?
Literasi berasal dari kata literacy yang berarti melek huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf, sedangkan sains berasal dari bahasa Inggris science yang berarti ilmu pengetahuan. Literasi kimia berasal dari definisi literasi sains (scientific literacy), yang diartikan sebagai kompetensi menggunakan kemampuan sains dalam mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran tentang sains dan teknologi dalam membentuk lingkungan material, intelektual, dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains sebagai manusia yang reflektif (Sothayapetch et al., 2013).
Literasi kimia atau literasi sains dapat di artikan juga sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta dan perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. (PISA, 2016) menyatakan, literasi sains memiliki pengertian sebagai suatu cara atau metode yang digunakan dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan fenomena-fenomena alam atas perubahan yang terjadi terhadap alam melalui aktivitas manusia.
Literasi sains (science literacy) bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Namun sejak dua dekade terakhir, literasi sains menjadi topik utama dalam setiap pembicaraan mengenai tujuan pendidikan sains di sekolah. Literatur dalam bidang pendidikan sains juga menunjukkan bahwa literasi sains semakin diterima dan dinilai oleh para pendidik sebagai hasil belajar yang diharapkan (Lederman, 2014). Trend dalam kebijakan pendidikan sains di abad 21 ini menekankan pentingnya literasi sains dalam pendidikan sains sebagai transferable outcome (Fives et al, 2014). Diskusi tentang tujuan pendidikan sains seringkali diawali dengan isu “literasi sains” dan frasa itu mewakili harapan kita tentang apa yang seharusnya diketahui dan mampu dilakukan oleh siswa sebagai hasil dari pengalaman belajarnya.
Pengertian literasi sains itu sendiri jika dikaitkan dengan implementasi pembelajarannya di kelas masih dapat diperdebatkan karena istilah literasi sains itu cenderung abstrak sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam berkaitan dengan hasil belajar yang diharapkan. Namun secara global telah disepakati bahwa tujuan utama mengembangkan literasi sains adalah agar siswa memiliki kemampuan dalam memahami perdebatan sosial mengenai permasalahan-permasalahan yang terkait sains dan teknologi dan turut berpartisipasi didalam perdebatan itu (Roth & Lee, 2004).
Literasi sains memfokuskan pada membangun pengetahuan siswa untuk menggunakan konsep sains secara bermakna, berfikir secara kritis dan membuat keputusan-keputusan yang seimbang dan memadai terhadap permasalahan-permasalahan yang memiliki relevansi terhadap kehidupan siswa. Akan tetapi masih sering dijumpai bahwa praktek pembelajaran sains di berbagai negara mengabaikan dimensi sosial pendidikan sains dan dorongan untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan siswa yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat (Hofstein, Eilks & Bybee, 2011). Jika ditelusuri lebih rinci sebenarnya ada dua kelompok besar orang yang memiliki pandangan tentang scientific literacy (Holbrook & Rannikmae, 2009). Kelompok pertama, yaitu kelompok science literacy memandang bahwa komponen utama literasi sains adalah pemahaman materi sains yaitu konsep-konsep dasar sains. Pemahaman kelompok pertama inilah yang banyak dipahami oleh guru-guru sains saat ini baik di Indonesia maupun di luar negeri (Sri Rahayu, 2017).
Kelompok kedua, yaitu scientific literacy, memandang bahwa literasi sains searah dengan pengembangan life skills (Rychen & Salganik, 2003), yakni pandangan yang mengakui perlunya keterampilan bernalar dalam konteks sosial dan menekankan bahwa literasi sains diperuntukan bagi semua orang, bukan hanya kepada orang yang memilih karir dalam bidang sains atau spesialis dalam bidang sains. Gräber et al (2001) menjembatani kedua kelompok ini dengan model literasi sains seperti gambar 2.4 yang menunjukkan bahwa literasi sains berbasis kompetensi merupakan irisan antara pengetahuan, nilai (etika, moral), dan tindakan (kemampuan prosedural, berkomunikasi, dan interaksi). Model scientific literacy ini menekankan keseimbangan yang integratif dengan melibatkan berbagai kemampuan serta membutuhkan keterampilan dalam pengambilan keputusan terhadap isu-isu sosiosaintifik (socioscientific issues) (Holbrook & Rannikmae, 2007), (Rahayu, 2017).
Meskipun terdapat berbagai pengertian literasi sains, namun pada prinsipnya terdapat tiga hal umum yang di sepakati yaitu: (1) pengetahuan tentang konsep dan ide-ide sains, (2) pemahaman tentang proses pencarian dan hakekat dalam memperoleh pengetahuan (nature of science), serta (3) kesadaran akan pengaruh kegiatan ilmiah terhadap konteks sosial dimana kegiatan tersebut dilakukan, dan pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari, pribadi maupun keputusan sosial tentang ide-ide ilmiah dan prakteknya (Ratcliffe dan Millar, 2009), (Rahayu, 2017).
Literasi kimia dapat di deskripsikan dari dua kerangka teori utama, yaitu dari Program for International Student Assessment PISA (OECD, 2006; OECD, 2015), dan kerangka teori yang berasal dari Shwartz et, al (2005, 2006a). Kedua kerangka utama literasi kimia ini bersumber dari pengertian literasi sains yang di kemukakan oleh Bybee (1997).
Domain penilaian literasi oleh PISA di definisikan dalam cara yang sedikit berbeda dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 kerangka penilaian dan item tes yang disediakan spesifik dan menekankan pada kemampuan membaca, tahun 2003 kerangka penilaian lebih difokuskan pada penguasaan matematika, dan tahun 2006 lebih fokus pada ilmu pengetahuan. Survey yang dilakukan PISA sangat penting, sebab terkait evaluasi internasional dalam pendidikan. Instrumen penilaian PISA didasarkan pada definisi secara holistik keterampilan dan kecakapan siswa dalam disiplin ke ilmuan yang di butuhkan pada Abad-21. Menurut PISA literasi sains terbagi dalam tiga dimensi besar yaitu proses sains, konten sains, dan kontek aplikasi sains. Dimensi-dimensi literasi sains tersebut kemudian di elaborasi sehingga menjadi komponen-komponen utama dalam penilaian literasi sains. (Sumber : Disertasi Mahbub Alwathoni UNS 2022).